Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Republik Indonesia adalah Lembaga nonstruktural yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, BRGM dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 120 tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
BRGM bertugas memfasilitasi percepatan pelaksanaan restorasi gambut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada areal restorasi gambut serta melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove di provinsi yang ditargetkan.
Mengutip Theconversation Indonesia, sesuai dengan namanya, fokus BRGM kali ini juga mencakup rehabilitasi mangrove seluas 600,000 hektare di sembilan provinsi yaitu di Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Papua dan Papua Barat, hingga tahun 2024.
Yaya Ihya Ulumuddin, peneliti mangrove, Kelompok Penelitian Bioekologi Vegetasi Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, melihat berdirinya BRGM sebagai salah satu tumpuan harapan dalam restorasi mangrove di Indonesia dan tanda komitmen pemerintah akan perbaikan lingkungan.
“Masuknya mangrove ke dalam Perpres yang mengatur BRGM merupakan salah satu tumpuan untuk harapan kami dalam restorasi mangrove di Indonesia. Ini merupakan tanda komitmen pemerintah akan perbaikan lingkungan khususnya mangrove,” kata Yaya.
Kerusakan hutan mangrove di Indonesia terjadi akibat adanya aktivitas manusia, seperti budi daya perikanan, pertambakan, hingga perkebunan. Data Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017 menyebutkan bahwa dari total luas mangrove di Indonesia sebesar 3,49 juta hektare, hampir lebih dari setengahnya atau sekitar 1,82 juta hektare rusak.
Padahal mangrove memiliki banyak manfaat bagi masyarakat, mulai dari penyedia sumber makanan dan obat, proteksi dari badai dan gelombang, pencegah abrasi, tempat memijah ikan, hingga tempat wisata.
Selain itu, mangrove memiliki peran yang krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Kehilangan hutan mangrove akan berdampak kepada masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan hidup mereka dari kawasan mangrove. Kebanyakan komunitas ini adalah kalangan menengah ke bawah.
Meski demikian, Yaya mengingatkan bahwa perlu ada sinergi dan pembagian tugas yang jelas karena usaha rehabilitasi sudah dilakukan oleh banyak pihak, terutama KLHK dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan).
“Mandat rehabilitasi mangrove seluas 600.000 [hektare] ini tidak dibebankan sepenuhnya ke BRGM. Tetapi, didistribusikan dengan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), dan pemerintah daerah. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat lokal juga dapat turut aktif dalam menyelesaikan rehabilitasi ini untuk mencapai area yang sudah ditargetkan,” katanya.
Lebih lanjut, dia mengusulkan adanya pengecekan ulang terhadap peta lahan mangrove yang perlu dipulihkan dan pengumpulan data, seperti keterlibatan masyarakat, akses, kondisi biofisik, ketersediaan bibit, dan metode penanaman yang sesuai.
Ketua Akar Bhumi Indonesia, Hendra Tanli Wijaya, mengatakan, dengan adanya BRGM ini, diharapkan pemulihan kerusakan hutan mangrove khususnya di Kota Batam, Kepulauan Riau, dapat cepat dilakukan. Dengan peran pemerintah pula diharapkan muncul kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove.
“Pada banyak kegiatan, beberapa kali juga pemerintah turut terlibat bersama kami. Tetapi dengan adanya BRGM ini, tentunya semakin menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melestarikan lingkungan khususnya hutan mangrove,” kata dia.
Menurutnya, dalam BRGM, luasan hutan mangrove yang akan direhabilitasi di Provinsi Kepulauan Riau adalah seluas 600 hektare. Kemudian, Kota Batam akan mendapat fokus sekitar 60 persen dari seluruh total rehabilitasi yang dilakukan oleh BRGM.
Recent Comments